Senin, 05 Januari 2015

Kewarganegaraan (Part I), UUD 1945, KONSTITUSI DAN KONVENSI

| No comment




KATA PENGANTAR
            Puji syukur saya panjatkan kepada rahmat tuhan YME atas kesempatan yang diberikan sehingga saya masih dapat diberikan usia untuk menyusun makalah ini. Makalah ini disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam kuliah saya di Universitas Budi Luhur.
            Pada kesempatan kali ini, saya membahas mengenai materi-materi yang telah saya pelajari selama kuliah saya dalam satu semester dalam mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang dibimbing oleh dosen saya Bpk. _____________. materi-materi tersebut diantaranya adalah;
ü  Pengertian Undang Undang Dasar, Konstitusi Dan Konvensi.
ü  Sistem Pemerintahan Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Amandemen UUD 1945.
ü  Pancasila Sebagai Paradigma “Pembangunan :Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Hukum,  Ketahanan Dan Keamanan, Dan Pembangunan Umat Beragama’
ü  Kedudukan, Fungsi Dan Tujuan Wawasan Nusantara,
ü  Pengertian, Dan Tujuan Geopolitik Dan Geostrategi Di Indonesia.
ü  Otonomi Daerah Dan Tujuannya
ü  Konsep Dan Ciri Masyarakat Madani.

            Semoga makalah yang saya susun ini bermanfaat bagi rekan-rekan  mahasiswa yang berkesempatan untuk membaca makalah yang susun ini. Apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun penyampaian, saya sebagai manusia tidak luput dari kesalahan. untuk itu, mohon dibukakan pintu maaf.
Jakarta, 19 Desember 2014

Penyusun.



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR                                                                                                           1
DAFTAR ISI                                                                                                                          2
BAB I. PENDAHULUAN                                                                                                    3          LATAR BELAKANG MASALAH                                                                            3
            RUMUSAN MASALAH                                                                                          3
BAB II. PEMBAHASAN                                                                                                     6
PENGERTIAN UUD, KONSTITUSI DAN KONVENSI
6
SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945
9
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA “PEMBANGUNAN :POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA, HUKUM, KETAHANAN DAN KEAMANAN, DAN PEMBANGUNAN UMAT BERAGAMA.
20
KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUJUAN WAWASAN NUSANTARA
30
PENGERTIAN, DAN TUJUAN GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI DI INDONESIA.
31
OTONOMI DAERAH DAN TUJUANNYA
32
KONSEP DAN CIRI MASYARAKAT MADANI.
35

BAB III. PENUTUP                                                                                                              38
            KESIMPULAN                                                                                                          38
            SARAN                                                                                                                      38
DAFTAR PUSTAKA                                                                                                                       39



BAB I PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang dan Tujuan Penulisan Makalah
            Tujuan Penulisan makalah ini selain sebagai salah satu Tugas Akhir Semester dalam studi saya di mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, adalah juga sebagai media sarana bagi saya pribadi serta rekan-rekan mahasiswa lain untuk lebih mengenal kembali sendi kehidupan sebagai warga negara serta sistem-sistem pemerintahan di Indonesia. Selain makalah ini saya sampaikan melalui makalah fisik, makalah ini juga telah saya lampirkan dalam blog pribadi saya agar rekan-rekan mahasiswa dapat membaca makalah ini dan dapat mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam makalah saya kali ini.
1.2       Rumusan Masalah
            Dalam makalah ini, pada bagian 1 pembahasan, saya membahas mengenai Pengertian Undang Undang Dasar, Konstitusi dan Konvensi. Pengertian konstitusi, dalam praktik dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik istilah constitutin merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-perturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
          Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar semua undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur bentuk, sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan pemerintahan,dll.
          Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan.
Selanjutnya, pada pembahasan ke-dua, saya membahas mengenai Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen UUD 1945. Dalam perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Baik dari segi lembaga eksekutif hingga lembaga legislatif. Menurut sejarah, sistem pemerintahan di Indonesia telah mengalami beberapa amandemen. Mulai dari sistem serikat sampai dengan demokrasi kerakyatan.
Perubahan setelah Amandemen UUD 1945 sangat signifikan dan terjadi secara menyeluruh di Sistem Pemerintahan di Indonesia. Mulai dari MPR, DPR, Presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, hingga BPK. Perubahan terjadi pada wewenang serta cara pengangkatan atau pemilihan badan-badang eksekutif dan legislatif tersebut.
Dalam pemabahasan ke-tiga, kami saya membahas mengenai Pancasila sebagai paradigma pembangunan, baik dari segi Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Hukum, Ketahanan dan Keamanan, serta Pembangunan Umat Beragama. Dalam kehidupan bermasayarakat, beragama dan bernegara, Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Pada pembahasan selanjutnya, saya membahas mengenai Kedudukan, Fungsi dan Tujuan Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara sebagai Wawassan Nasional Bangsa Indonesia merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan cita – cita dan tujuan nasional. Dengan demikian, Wawasan Nusantara menjadi landasan Visional dalam menyelenggarakan kehidupan Nasional.
Selanjutnya, saya membahas mengenai Pengertian dan Tujuan Geopolitik dan Geostrategi di Indonesia. Secara umum geopolitik adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri, lingkungan, yang berwujud Negara kepulauan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Otonomi daerah dan Tujuannya menjadi pokok bahasan ke-enam dalam makalah saya ini. Tujuan otonomi daerah kerap menjadi pembicaraan dan bahan diskusi yang menarik bahkan hingga saat ini setelah konsepsi otonomi daerah itu diselenggarakan di Indonesia. Mungkin inilah akibat belum tercapainya tujuan otonomi daerah itu sendiri sesuai dengan gagasan awal pelaksanaannya atau mungkin lemahnya indikasi akan tercapainya tujuan otonomi daerah dengan melihat realitas pelaksanaan otonomi daerah dengan berbagai macam ekses yang telah ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan pembicaraan mengenai tujuan otonomi daerah selalu dibarengi dengan harapan untuk mewujudkannya.
Terakhir, saya membahas mengenai Konsep dan Ciri masyarakat Madani. Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini membahas tentang masyarakat madani yang umumnya dikenal dengna istilah masyarakat sipil (civil society), pengertiannya, ciri-cirinya, sejaraha pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat dan di Indonesia serta unsur-unsur di dalamnya.


















BAB II
PEMBAHASAN

BAB II.1 PENGERTIAN UUD, KONSTITUSI DAN KONVENSI
Konstitusi atau Undang-undang Dasar dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negar biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Hukum ini tidak mengatur hal-hal yang terperinci, melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar bagi peraturan-peraturan lainnya. Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara.
Menurut pakar lain, konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung permulaan dari segala peraturan mengenai suatu negara, dengan demikian suatu konstitusi memuat suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar yaitu negara.
            Bertolak dari konsepsi tersebut, maka secara umum istilah konsitusi menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis dan yang tidak tertulis.
            Pengertian konstitusi, dalam prakteknya dapat berarti lebih luas daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar.
            L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau gronwet (Undang-undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama dengan Undang-undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara di dunia termasuk di Indonesia.
Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi 3 yaitu:
1.      Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2.      Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.
3.      Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah kita simpulkan bahwa jika Undang-Undang Dasar dihubungkan dengan konstitusi, maka Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi yang tertulis saja. Disamping itu konstitusi itu tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapi mengandung pengertian sosiologis dan politis.
Istilah konstitusi dalam perkembangannya mempunyai dua pengertian:
1.      Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar (droit constitutionelle), baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun campuran keduanya;
2.      Dalam pengertian sempit (terbatas), konstitusi berarti piagam dasar atau Undang-undang Dasar (loi constitutionelle), ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. Misalnya UUD RI 1945, Konstitusi USA 1787.
Pengertian Konvensi.
Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention. Secara akademis seringkali istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau contitusional seperti convention of the constitution. Dicey seorang sarjana Inggris yang mula-mula mempergunakan istilah konvensi sebagai ketentuan ketatanegaraan, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara (Constitutional Law) terdiri atas dua bagian, yaitu:
1.      Hukum Konstitusi (The Law of The Constitution) yang terdiri dari :
a)      Undang-undang tentang Hukum Tata Negara (Statuta Law)
b)      Common Law, yang berasal dari keputusan-keputusan Hakim (judge-made maxims) dan ketentuan-ketentuan dari kebiasaan serta adat temurun (tradisional)
2.      Konvensi-konvensi ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.
Dari apa yang dikemukakan oleh AV Dicey tersebut jelaslah bahwa konvensi ketatanegaraan harus memenuhi cirri-ciri sebagai berikut :
·         Konvensi itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan
·         Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik penyelenggaraan Negara
·         Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan.
Adapun contoh konvensi ketatanegaraan secara umum (convention of the constitution) adalah:
·         Raja harus mensahkan setiap rencana undang-undang yang telah disetujui oleh kedua majelis dalam parlemen
·         Majelis tinggi tidak akan mengajukan sesuatu rencana undang-undang keuangan (money bill)
·         Menteri-menteri meletakkan jabatan apabila mereka tidak mendapat kepercayaan dari majelis rendah
semua contoh diatas dalam kehidupan ketatanegaraan diterima dan ditaati, walaupun bukan hukum dalam arti sebenarnya.
            Dari ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan dalam praktek penyelenggaraan Negara. Penyelenggara Negara itu adalah alat-alat perlengkapan Negara atau lembaga-lembaga Negara. Dalam UUD 1945 sudah cukup jelas ketentuan-ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga Negara. Berikut ini akan dibahas tentang konvensi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
            Konvensi tidak identik dengan kebiasaan. Dengan demikian, Konvensi juga tidak identik dengan kebiasaan ketatanegaraan. kebiasaan menuntut adanya perulangan yang teratur, sedangkan konvensi tidak harus didasarkan atas perulangan.  Konvensi ketatanegaraan (the convention of constitution) dapat berbentuk kebiasaan, dapat pula berbentuk praktik praktik ataupun constitutional usages. Terhadap hal ini, yang penting  adalah bahwa kebiasaan, kelaziman dan praktik yang harus dilakukan dalam proses penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, dianggap baik dan berguna dalam penyelenggaraan Negara menurut  undang-undang dasar. Oleh karena itu, meskipun tidak didasarkan atas ketentuan konstitusi tertulis, hal ini tetap dinilai penting secara konstitusional.
            Konvensi adalah hukum yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan Negara untuk melengkapi, menyempurnakan, dan menghidupkan (mendinamisasi) kaidah- kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan.
            Konvensi ketatangeraan mempunyai kekuatan yang sama dengan Undang – undang karena diterima dan dijalankan, meskipun hakim di pengadilan tidak terikat olehnya[6], Maka Konvensi Ketatanegaraan harus ditaati sebagai konstitusi juga, yaitu sebagai konstitusi tidak tertulis. Ketentuan Konvensi ketatanegaraan itu sendiri dapat diubah yaitu dengan cara melakukan penyimpangan yang dianggap perlu sebagai konvensi ketatanegaraan baru, yang untuk selanjutnya setelah dilakukan berulang-ulang menjadi kebiasaan baru pula.
            Konvensi  tidak selalu merupakan ketentuan yang tidak tertulis, yang timbul dari persetujuan, tapi bisa saja berbentuk tertulis. Konvensi mungkin saja merupakan persetujuan yang di tanda tangani pemimpin-pemimpin negara seperti antara Wakil Presiden Republik Indonesia dengan dan Badan Pekerja pada tanggal 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum yang dikeluarkan setelah pembicaraan antara Menteri-menteri seperti Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945
BAB II. 2. SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945
Dalam perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi. Baik dari segi lembaga eksekutif hingga lembaga legislatif. Menurut sejarah, sistem pemerintahan di Indonesia telah mengalami beberapa amandemen. Mulai dari sistem serikat sampai dengan demokrasi kerakyatan.
Amandemen yang dimaksud adalah amandemen dengan dasar yang sama yaitu UUD 1945, dimana UUD 1945 telah dirubah sejak pertama kali dibuat oleh pendiri republik ini. Perubahan tersebut dapat kita cermati tertuang dalam Buku UUD 1945 dimana didalamnya terdapat pasal-pasal yang dibelakangnya terdapat tanda bintang (*). Jumlah bintang tersebut adalah jumlah amandemen di pasal tersebut. Berikut ini adalah perbandingan antara Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum dan Sesudah Amandemen.
A. Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum di Amandemen
Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 sebelum Diamandemen tertuang dalam penjelesan UUD 1945 yang membahas 7 kunci pokok sistem pemerintahan negara Indonesia, yaitu :
·         Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)
·         Sistem Konstitusinal.
·         Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
·         Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah MPR.
·         Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
·         Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab terhadap DPR.
·         Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan 7 kunci pokok diatas, Indonesia pada masa dahulu menganut sistem pemerintahan Presidensial menurut UUD 1945. Sistem pemerintahan tersebut dijalankan dimasa kekuasaan Presiden Suharto. Dimana presiden pada waktu itu memegang peranan yang amat besar dalam pemerintahan.
Pada masa tersebut, Presiden memiliki beberapa wewenang. Berikut Wewenang Presiden Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Amandemen :
·         Pemegang kekuasaan legislative.
·         Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.
·         Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.
·         Panglima tertinggi dalam kemiliteran.
·         Berhak mengangkat & melantik para anggta MPR dari utusan daerah atau glngan.
·         Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.
·         Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
·         Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.
·         Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehrmatan.
·         Berhak memberi grasi, amnesty, ablisi, dan rehabilitasi.
Wewenang tersebut biasa disebut dengan hak prerogratif presiden. Tentu dalam prakteknya Sistem Pemerintahan Presidensial ini memiliki beberapa dampak negatif, berikut adalah dampak negatif dari Sistem Pemerintahan Presidensial :
·         Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.
·         Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.
·         Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk lyal dan mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.
·         Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan rang – rang yang dekat presiden.
·         Menciptakan perilaku KKN.
·         Terjadi persnifikasi bahwa presiden dianggap Negara.
·         Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.
Tetapi juga Sistem Presidensial ini memiliki dampak positif, yaitu:
·         Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
·         Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kmpak dan slid.
·         Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.
·         Knflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.
Pada akhir tahun 1999, Indonesia mengalami masa reformasi. Dimana terjadi demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia Raya dalam rangka untuk menggulingkan Presiden Suharto pada waktu itu. Karena rakyat Indonesia bertekat untuk membentuk suatu pemerintahan yang demokratis alias bebas.  Oleh karena itu dibentuklah Sistem Pemerintahan berdasarkan Konstitusi (Konstitusional). Yang bercirikan:
·         Adanya pembatasan kekuasaan ekskutif.
·         Jaminan atas hak – hak asasi manusia dan warga Negara.
B. Sistem Pemerintahan Indonesia Sesudah di Amandemen
Setelah terjadi amandemen, Sistem Pemerintahan Indonesia mengalami perubahan pokok-pokok kunci pemerintahan, yaitu :
·         Bentuk Negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah Negara terbagi menjadi beberapa prvinsi.
·         Bentuk pemerintahan adalah Republik.
·         Sistem pemerintahan adalah presidensial.
·         Presiden adalah kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.
·         Kabinet atau menteri diangkat leh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
·         Parlemen terdiri atas dua (bikameral), yaitu DPR dan DPD.
·         Kekuasaan yudikatif dijalankan leh mahkamah agung dan badan peradilan di bawahnya.
Pada dasarnya tidak ada yang banyak berubah, Indonesia tetap menganut sistem pemerintahan Presidensial dimana Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Parlemen.Namau ada beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut :
·         Presiden sewaktu – waktu dapat diberhentikan MPR atas usul dan pertimbangan dari DPR.
·         Presiden dalam mengangkat pejabat Negara perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR.
·         Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau persetujuan DPR.
·         Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang – undang dan hak budget (anggaran).
Dengan demikian, ada perubahan – perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indnesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan presiden secara langsung, sistem bicameral, mekanisme check and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.






Perbedaan Sistem Pemerintahan Sebelum dan Sesudah Amandemen
Dalam sejarah indonesia, sudah beberapa kali pemerintah melakukan amandemen pada UUD 1945. Hal ini tentu saja dilakukan untuk menyesuaikan undang-undang dengan perkembangan zaman dan memperbaikinya sehingga dapat menjadi dasar hukum yang baik. Dalam proses tersebut, terdapat perbedaan antara sistem pemerintahan sebelum dilakukan amandemen dan setelah dilakukan amandemen. Perbedaan tersebut adalah:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebelum dilakukan amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
WEWENANG MPR Sebelum Amandemen :
·         Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
·         Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.
·         Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
·         Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
·         Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
·         Mengubah undang-Undang Dasar.
·         Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
·         Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
·         Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji anggota.
·         Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.


WEWENANG MPR Setelah Amandemen :
·         Menghilangkan supremasi kewenangannya
·         Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN
·         Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu)
·         Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
·         Melantik presiden dan/atau wakil presiden
·         Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
·         Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden
·         Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
·         MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Sebelum Amandemen :
Presiden tidak dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
WEWENANG DPR Sebelum Amandemen :
·         Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
·         Memberikan persetujuan atas PERPU.
·         Memberikan persetujuan atas Anggaran.
·         Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
·         Tidak disebutkan bahwa DPR berwenang memilih anggota-anggota BPK dan tiga hakim pada Mahkamah Konstitusi.
·         Setelah Amandemen
·         Setelah amandemen, Kedudukan DPR diperkuat sebagai lembaga legislatif dan fungsi serta wewenangnya lebih diperjelas seperti adanya peran DPR dalam pemberhentian presiden, persetujuan DPR atas beberapa kebijakan presiden, dan lain sebagainya.
WEWENANG DPR Setelah Amandemen
·         Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
·         Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
·         Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
·         Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
·         Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah
3. PRESIDEN
SEBELUM AMANDEMEN
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power). Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, sehingga presiden bisa menjabat seumur hidup.
WEWENANG Presiden sebelum Amandemen :
·         Mengangkat dan memberhentikan anggota BPK.
·         Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
·         Menetapkan Peraturan Pemerintah
·         Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri


PEMILIHAN
Presiden dan Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
SETELAH AMANDEMEN
Kedudukan presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan berwenang membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Masa jabatan presiden adalah lima tahun dan dapat dipilih kembali selama satu periode.
WEWENANG Presiden setelah Amandemen :
·         Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD
·         Presiden tidak lagi mengangkat BPK, tetapi diangkat oleh DPR dengan memperhatikan DPD lalu diresmikan oleh presiden.
·         Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
·         Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
·         Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan yang memaksa)
·         Menetapkan Peraturan Pemerintah
·         Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
·         Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain dengan persetujuan DPR
·         Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
·         Menyatakan keadaan bahaya
PEMILIHAN
Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan pada tahun 2004.
Jika dalam Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
 4. MAHKAMAH KONSTITUSI
SEBELUM AMANDEMEN :
Mahkamah konstitusi berdiri setelah amandemen
SETELAH AMANDEMEN :
WEWENANG
·         Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
·         Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
PEMILIHAN KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun). Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.
Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat melakukan voting tertutup untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua.
HAKIM KONSTITUSI
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2003-2008 adalah:
1.      Jimly Asshiddiqie
2.      Mohammad Laica Marzuki
3.      Abdul Mukthie Fadjar
4.      Achmad Roestandi
5.      H. A. S. Natabaya
6.      Harjono
7.      I Dewa Gede Palguna
8.      Maruarar Siahaan
9.      Soedarsono
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:
1.      Jimly Asshiddiqie, kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Harjono
2.      Maria Farida Indrati
3.      Maruarar Siahaan
4.      Abdul Mukthie Fajar
5.      Mohammad Mahfud MD
6.      Muhammad Alim
7.      Achmad Sodiki
8.      Arsyad Sanusi
9.      Akil Mochtar


5. MAHKAMAH AGUNG
SEBELUM AMANDEMEN
Kedudukan: :
Kekuasan kehakiman menurut UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman (Pasal 24 (1)). Kekuasaan kehakiman hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga ini dalam tugasnya diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama eksekutif.
WEWENANG
Sebelum adanya amandemen, Mahkamah Agung berwenang dalam kekuasaan kehakiman secara utuh karena lembaga ini merupakan lembaga kehakiman satu-satunya di Indonesia pada saat itu.
SETELAH AMANDEMEN
Kedudukan:
MA merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman disamping itu sebuah mahkamah konstitusi diindonesia (pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen ). Dalam melaksanakan kekusaan kehakiman , MA membawahi Beberapa macam lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara( Pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen).
WEWENANG
Fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi

6. BPK
SEBELUM AMANDEMEN
Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil Pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat” PASAL 23
SESUDAH AMANDEMEN
Pasal 23F
1.      Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.
2.      Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G
1.      BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap propinsi
2.      Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK di atur dengan undang-undang
3.       
BAB II.3. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA “PEMBANGUNAN : POLITIK, EKONOMI, SOSIAL BUDAYA, HUKUM, KETAHANAN DAN KEAMANAN, DAN PEMBANGUNAN UMAT BERAGAMA’
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir atau jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya:
·         Bidang Politik
·         Bidang Ekonomi
·         Bidang Social Budaya
·         Bidang Hukum
·         Bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
1.      Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
2.      Sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
3.      Kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
·         Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
·         Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan;
·         Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan persatuan;
·         Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab;
·         Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi adalah:
o   nilai toleransi;
o   nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
o   nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
o   bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.

Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam
Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum.
3. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan – kebudayaan di daerah:
1.      Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2.      Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
3.      Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
4.      Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
5.      Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
4. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
1.      Adanya perlindungan terhadap HAM,
2.      Adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan
3.      Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila – sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila:
1.      Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.      Persatuan Indonesia,
4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
5. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1.      Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu komunitas (ummatan wahidah).
2.      Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a)      Bertentangga yang baik
b)      Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c)      Membela mereka yang teraniaya
d)     Saling menasehati
e)      Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1)      Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi yang didasarkan atas suku dan agama;
2)      pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang berbudaya.


BAB II.4 KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUJUAN WAWASAN NUSANTARA,
1.      Kedudukan
Wawasan Nusantara sebagai Wawassan Nasional Bangsa Indonesia merupakan ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan cita – cita dan tujuan nasional. Dengan demikian, Wawasan Nusantara menjadi landasan Visional dalam menyelenggarakan kehidupan Nasional.
Wawasan Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari stratifikasinya sebagai berikut :
1)      Pancasila sebagai falsafah, ideology bangsa dan dasar negara berkedudukan sebagai landasan idiil.
2)      Undang – Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi negara, berkedudukan sebagai landasan konstitusional.
3)      Wawasan Nusantara sebagai visi nasional, berkedudukan sebagai landasan Visional.
4)      Ketahanan Nasional sebagai konsepsi nasional, berkedudukan sebagai landasan konsepsional.
5)      GBHN sebgai politik dan strategi nasional atau sebagai kebijaksanaan dasar Nasional, berkedudukan sebagai landasan operasional.
Paradigma diatas perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang – undangan. Paradigma nasional ini secara struktural dan fungsional mewujudkan keterkaitan hierarkis pyramidal  dan secara instrumental mendasari kehidupan nasional yang berdimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.      Fungsi
Wawasan Nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan serta rambu – rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan perbuatan bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


3.      Tujuan
Wawasan Nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa, atau daerah. Hal tersebut bukan berarti menghilangkan kepentingan – kepentingan individu, kelompok, suku bangsa atau daerah. Kepntingan – kepentingan tersebut tetap dihormati, diakui, dan dipenuhi, selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional atau kepentingan masyarakat banyak. Nasionalisme yang tinggi di segala bidang kehidupan demi tercapainya tujuan nasional tersebut merupakan pancaran dari makin meningkatnya rasa, paham, dan semangat kebangsaan dalam jiwa bangsa Indonesia sebagai hasil pemahaman dan penghayatan Wawasan Nusantara.

BAB II.5. PENGERTIAN, DAN TUJUAN GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI DI INDONESIA.
Pengertian Geopolitik.
Kata geopolitik berasal dari kata geo dan politik. “Geo” berarti bumi dan “Politik” berasal dari bahasa Yunani politeia, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri (negara) dan teia yang berarti urusan. Sementara dalam bahasa Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, danalat yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki.
Pengertian Geopolitik Secara Umum.
Secara umum geopolitik adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri, lingkungan, yang berwujud Negara kepulauan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Pentingnya Geopolitik Bagi Indonesia.
Pentingnya geopolitik bagi Indonesia adalah untuk dapat mempertahankan Negara dan berperan penting dalam pembinaan kerjasama dan penyelesaian konflik antarnegara yang mungkin muncul dalam proses pencapaian tujuan.
BAB II.6. OTONOMI DAERAH DAN TUJUANNYA
Pengertian Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain pengertian otonomi daerah sebagaimana disebutkan diatas, kita juga dapat menelisik pengertian otonomi daerah secara harafiah. Otonomi daerah berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi  berasal dari kata autos dan namos. Autos berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri  atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
Berdasarkan pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas sesungguhnya kita telah memiliki gambaran yang cukup mengenai otonomi daerah. Namun perlu diketahui bahwa selain pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas, terdapat juga beberapa pengertian otonomi daerah yang diberikan oleh beberapa ahli atau pakar.
Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli
Beberapa pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar, antara lain:
Pengertian Otonomi Daerah menurut F. Sugeng Istianto, adalah:
“Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah”
Pengertian Otonomi Daerah menurut Ateng Syarifuddin, adalah:
“Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan”
Pengertian Otonomi Daerah menurut Syarif Saleh, adalah:
“Hak mengatur dan memerintah daerah sendiri dimana hak tersebut merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat”
Selain pendapat pakar diatas, ada juga beberapa pendapat lain yang memberikan pengertian yang berbeda mengenai otonomi daerah, antara lain:
Pengertian otonomi daerah menurut Benyamin Hoesein, adalah:
“Pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat”
Pengertian otonomi daerah menurut Philip Mahwood, adalah:
“Suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial mengenai fungsi yang berbeda”
Pengertian otonomi daerah menurut Mariun, adalah:
“Kebebasan (kewenangan) yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang memungkinkan meeka untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri. Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat”
Pengertian otonomi daerah menurut Vincent Lemius, adalah:
“Kebebasan (kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu keputusan politik maupun administasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah tedapat kebebasan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah namun apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan kepentingan nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”
Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan otonomi daerah kerap menjadi pembicaraan dan bahan diskusi yang menarik bahkan hingga saat ini setelah konsepsi otonomi daerah itu diselenggarakan di Indonesia. Mungkin inilah akibat belum tercapainya tujuan otonomi daerah itu sendiri sesuai dengan gagasan awal pelaksanaannya atau mungkin lemahnya indikasi akan tercapainya tujuan otonomi daerah dengan melihat realitas pelaksanaan otonomi daerah dengan berbagai macam ekses yang telah ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan pembicaraan mengenai tujuan otonomi daerah selalu dibarengi dengan harapan untuk mewujudkannya.
Tujuan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang
Dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 2 ayat 3 disebutkan tujuan otonomi daerah sebagai berikut:
Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Berdasarkan ketentuan tersebut disebutkan adanya 3 (tiga) tujuan otonomi daerah, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya saing daerah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat dipercepat perwujudannya melalui peningkatan pelayanan di daerah dan pemberdayaan masyarakat atau adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan di daerah. Sementara upaya peningkatan daya saing diharapkan dapat dilaksanakan dengan memperhatikan keistimewaan atau kekhususan serta potensi daerah dan keanekaragaman yang dimiliki oleh daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penjelasan Tujuan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang
Dalam upaya mewujudkan tujuan otonomi daerah, maka konsepsi otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia menggunakan prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Pinsip otonomi seluas-luasnya dapat dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan melalui peraturan perundang-undangan kepada daerah untuk membuat kebijakan yang dianggap benar dan adil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya masing-masing.
Masing-masing daerah dalam menyelenggarakan urusan yang menjadi kewenangannya berhak untuk membuat kebijakan baik dalam rangka peningkatan pelayanan maupun dalam rankga peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan daerah yang diharapkan bermuara pada cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Selain prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat, diberlakukan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan pemberian prinsip otonomi yang nyata adalah bahwa kewenangan, tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah dilaksanakan berdasarkan kondisi obyektif suatu daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang  bertanggungjawab adalah bahwa penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah di masing-masing daerah pada dasarnya adalah untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah sebagai bagian dari tujuan nasional.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan otonomi daerah tidak boleh dilepaskan dari tujuan otonomi daerah yakni mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan oleh karena itu, senantiasa harus memperhatikan apa yang menjadi kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat di daerah masing-masing.
BAB II. 7. KONSEP DAN CIRI MASYARAKAT MADANI.
Pengertian / Konsep Masyarakat Madani ( Civic Society )
Civic society diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan masyarakat sipil atau masyarakat madani. Kata madani berasal dari kata Madinah, yaitu sebuah kota tempat hijrah Nabi Muhammad SAW. Madinah berasal dari kata “madaniyah” yang berarti peradaban. Oleh karena itu masyarakat madani berarti masyarakat yang beradap.
Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini membahas tentang masyarakat madani yang umumnya dikenal dengna istilah masyarakat sipil (civil society), pengertiannya, ciri-cirinya, sejaraha pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat dan di Indonesia serta unsur-unsur di dalamnya
Ciri-Ciri Masyarakat Madani
a)      Menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh iman dan teknologi.
b)      Mempunyai peradaban yang tinggi ( beradab ).
c)      Mengedepankan kesederajatan dan transparasi ( keterbukaan ).
d)     Free public sphere (ruang publik yang bebas). Ruang publik yang diartikan sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi kepada publik.
e)      Demokratisasi. Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar demokrasi yang meliputi :
1)      Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
2)      Pers yang bebas
3)      Supremasi hokum
4)      Perguruan Tinggi
5)      Partai politik
f)       Toleransi.
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.
g)      Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat tuhan.
h)      Keadilan Sosial (Social justice)
Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
i)        Partisipasi sosial
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi individu terjaga.
j)        Supermasi hukum
Penghargaan terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan, keadilan harus diposisikan secara netral, artinya tidak ada pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.
Prof. Dr. M. A.S. Hikan menjelaskan ciri-ciri pokok masyarakat madani di Indonesia antara lain :
a)      Kesukarelaan
b)      Keswasembadaan
c)      Kemandirian yang tinggi terhadap negara.
d)     Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.
e)      Keswadayaan















BAB III 
PENUTUP
Kesimpulan
            Dalam kehidupan sebagai warga negara di Indonesia, kita tidak lepas dari sejarah serta hal-hal yang mengatur kehidupan kita seperti Undang-Undang serta sistem pemerintahan di Indonesia. Konstitusi dan UUD 1945 sebagai dasar hukum yang berlaku di Indonesia, Pancasila sebagai Paradigma dalam seluruh aspek kewarganegaraan, dan juga Geopolitik sebagai pertahanan bagi keutuhan negara.
            Selain itu, dalam kehidupan kewarganegaraan di Indonesia, kita harus mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan di Indonesia serta perbedaan sebelum dan sesudah Amandemen.
            Ciri Masyarakat Madani di Indonesia berperan penting dalam keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak seperti bangsa-bangsa lain yang kurang peduli terhadap sesama, kehidupan berwarganegara di Indonesia memiliki nilai-nilai positif yang menjadi ciri khas tersendiri.
Saran
            Dalam praktiknya, saat ini kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, banyak warga negara yang kurang dapat menerapkan hal-hal yang saya bahas dalam makalah ini, sering kali Konstitusi dan UUD 1945 hanya dijadikan tameng dan senjata sebagai kekuatan Politik bagi salah satu golongan saja dan mengesampingkan kepentingan bangsa dan negara. Peran Pancasila sebagai paradigma seringkali terabaikan.
            Saran dari penulis adalah, sebaiknya pengetahuan-pengetahuan kewarganegaraan seperti ini harus lebih banyak dimuat atau disampaikan kepada seluruh aspek masyarakat dalam pembahasan yang menarik baik melalui media cetak, media elektronik maupun media sosial sehingga kehidupan berwarganegara di Indonesia dapat tertata dan berlangsung secara harmonis. Rasa nasionalisme akan tumbuh pada seluruh aspek masyarakat hanya jika masyarakat itu sendiri mengetahui dan menyadari pentingnya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, bukan hanya penting bagi mereka yang masih mengenyam pendidikan formal, namun penting bagi seluruh aspek lapisan masyarakat tanpa terkecuali.

DAFTAR PUSTAKA

Soehino. 1984. Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangan. Yogyakarta : Liberty.
Budiyanto. 2005. Kewarganegaraan. Jakarta : Erlangga.
http://www.pustakasekolah.com/pengertian-konstitusi.html
Siswanto, Sugeng. 2013. Makalah Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan. http://www.mysusis.com/2013/07/makalah-pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan.html (diakses 18 Desember 2014)
Denny Indrayana, 2007, Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan, Bandung.
Miriam Budiardjo, 2006, Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluh delapan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Prof. DR. H. Kaelan, M.S. dan Drs. H. Ahmad Zubaidi, M. Si. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan utuk Perguruan Tinggi. Yogyakarta : Penerbit Paradigma Yogyakarta.
Ermanaya, Suradinata. 2001. Geopolitik dan Geostrategi Dalam Mewujudkan Integritas Negara Kesatuan Indonesia. Jakarta: Lemhanas.
Kaelan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Suito, Deny. 2006. Membangun Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta.





CATATAN:

Dibuat Halaman Sampul Depan Lengkap Dgn Nama Institusi, Nama, Nim, Dosen, Dan Mata Kuliah
Tags : , , ,

Tidak ada komentar: