KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada
rahmat tuhan YME atas kesempatan yang diberikan sehingga saya masih dapat
diberikan usia untuk menyusun makalah ini. Makalah ini disusun sebagai tugas
akhir semester mata kuliah Sosiologi Komunikasi dalam kuliah saya di
Universitas Budi Luhur.
Pada kesempatan kali ini, saya
mengangkat studi kasus mengenai Perubahan sosial serta hubungannya dengan
komunikasi, Pengertian dan Konsep Publik Sphere, serta Konsep Publik Sphere
dalam Lingkup Media Masa serta Contoh Kasusnya.
Semoga makalah yang saya susun ini
bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa
yang berkesempatan untuk membaca makalah yang susun ini. Apabila terdapat
kesalahan baik dalam penulisan maupun penyampaian, saya sebagai manusia tidak
luput dari kesalahan. untuk itu, mohon dibukakan pintu maaf.
Jakarta,
Januari 2015
Penyusun.
DAFTAR ISI :
Kata
Pengantar 1
Daftar
Isi 2
I. Perubahan sosial dan hubungannya
dengan Komunikasi 3
II. Pengertian Dan Konsep Publik Sphere 4
III. Konsep Publik Sphere Dalam Lingkup Media
Masa Dan Contoh Kasus. 7
Kesimpulan 10
Daftar
Pustaka 11
I. Perubahan sosial dan hubungannya dengan
Komunikasi
Perubahan sosial adalah proses
sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta sema unsur-unsur budaya dan
sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara kukarela
atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan,
budaya, dan sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan
pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial yang baru.
Menurut salah satu ahli sosial,
Gillin dan Gillin menyatakan, perubahan sosial dapat diartikan sebagai suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan kondisi
geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk dan ideologi, maupun karena
adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Samuel Koenig
dalam Man and Society (1957) mengatakan, secara singkat perubahan sosial
menunjuk pada modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia.
Modifikasi itu terjadi karena sebab-sebab intern dan sebab-sebab extern.
Definisi lain adalah dari pakah sosiologi terkemuka Indonesia, Selo Soemardjan.
Selo mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola prilaku diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat (Soekanto, 1991:337)
Dalam hubungannya dengan proses
sosial, komunikasi menjadi sebuah cara dalam melakukan perubahan sosial (social
change). Komunikasi berperan menjembatani perbedaan dalam masyarakat karena
mampu merekatkan kembali sistem sosial masyarakat dalam usahanya melakukan
perubahan. Namun begitu, komunikasi juga tak akan lepas dari konteks sosialnya.
Artinya ia akan diwarnai oleh sikap, perilaku, pola, norma, pranata
masyarakatnya. Jadi keduanya saling mempengaruhi dan saling melengkapi, seperti
halnya hubungan antara manusia dengan masyarakat. Little john (1999),
menjelaskan hal ini dalam genre interactionist theories. Dalam teori ini,
dijelaskan bahwa memahami kehidupan sosial sebagai proses interaksi. Komunikasi
(interaksi) merupakan sarana kita belajar berperilaku. Komunikasi merupakan
perekat masyarakat. Masyarakat tidakakan ada tanpa komunikasi. Struktur
sosial-struktur sosial diciptakan dan ditopang melalui interaksi. Bahasa yang
dipakai dalam komunikasi adalah untuk menciptakan struktur-struktur
sosial.Hubungan antara perubahan sosial dengan komunikasi (atau media
komunikasi) pernah diamati oleh Goran Hedebro (dalam Nurudin, 2004) sebagai
berikut. :
Teori komunikasi mengandung makna
pertukaran pesan. Tidak ada perubahan dalam masyarakat tanpa peran komunikasi.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa komunikasi hadir pada semua upaya
bertujuan membawa ke arah perubahan.
Meskipun dikatakan bahwa komunikasi
hadir dengan tujuan membawa perubahan, namun ia bukan satu-satunya alat dalam
membawa perubahan sosial. Dengan kata lain, komunikasi hanya salah satu dari
banyak faktor yang menimbulkan perubahan masyarakat.
Media yang digunakan dalam
komunikasi berperan melegitimasi bangunan sosial yang ada. Ia adalah pembentuk
kesadaran yang pada akhirnya menentukan persepsi orang terhadap dunia dan
masyarakat tempat mereka hidup.
Komunikasi adalah alat yang luar
biasa guna mengawasi salah satu kekuatan penting masyarakat; konsepsi mental
yang membentuk wawasan orang mengenai kehidupan. Dengan kata lain, mereka yang
berada dalam posisi mengawasi media, dapat menggerakkan pengaruh yang
menentukan menuju arah perubahan sosial.
II. Pengertian Dan Konsep Publik Sphere
Konsep Public Sphere digagas oleh
seorang pemikir sosial yaitu Jurgen Habermas. Menurut Habermas, Public Sphere
dikonsepsionalisasikan sebagai suatu realitas kehidupan sosial di dalam mana
terdapat suatu proses pertukaran informasi dan berbagai pandangan berkenaan
dengan pokok persoalan yang tengah menjadi perhatian umum sehingga dalam proses
tadi terciptalah pendapat umum. Dengan dihasilkannya pendapat umum maka pada
gilirannya akan membentuk kebijakan negara dan pada akhirnya akan membentuk
suatu tatanan masyarakat secara keseluruhan. Adanya Public Sphere menyaratkan
keaktifan dari warga masyarakat memanfaatkan hak-haknya untuk ikut berpikir
terlibat di dalam suatu wacana yang sedang hangat pada hari suatu saat
tertentu, khususnya yang berkaitan dengan permasalahan politik. Dalam
perkembangan masyarakat yang makin besar maka proses terbentuknya wacana menuju opini public tadi lalu
diantarai oleh media massa.
Gagasan Habermas di atas memang bisa
dibilang sebuah cita-cita ideal dalam konteks historis masa itu yang kalau kita
bandingkan dengan konteks zaman sekarang tentunya prosesnya tidak sesederhana
itu. Pemikiran Habermas itu bisa kita
pahami dalam dua perspektif. Pertama, Habermas mencoba menggambarkan munculnya
ruang publik di kalangan calon kaum borjuis dalam spirit kapitalisme liberal di
abad 18.Kategori Public Sphere semacam ini dapat ditemui dalam realitas sejarah
masyarakat Inggris, Perancis dan Jerman.Pada masa sebelum itu, memang bisa
dikatakan tidak ada ruang sosial yang layak disebut “public” sebagai lawan dari
“private”. Dengan berkembangnya konsep negara kebangsaan, lembaga perwakilan,
perekonomian,dan tidak ketinggalan lahirnya media cetak maka mulailah
berkembang akar kemunculan Public Sphere di masyarakat tertentu di Eropa Barat.
Dalam Public Sphere ini terdapat
kelompok –kelompok sosial tertentu
atas dasar pendidikan, kelas
kepemilikan ( biasanya pada kalangan pria )
dan berproses melalui berbagai media seperti Jurnal, pamflet, dan surat
kabar termasuk di dalam lingkungan tertentu seperti bar, coffee house dan
berbagai club. Pertukaran informasi aktual, yang berlangsung terus menerus
dalam sebuah diskusi dan seringkali dihangatkan dengan perdebatan merupakan gejala baru yang menurut Habermas
amatlah berarti.
Kedua, konsep Public Sphere memasuki warna baru
dengan mulai memudarnya kelompok borjuis dalam konteks masyarakat industri yang
makin maju dan munculnya demokrasi massa. Dengan adanya demokrasi massa, public
yang semula diwakili oleh kalangan elite terpelajar terbatas mulai dimasuki
oleh masyarakat kebanyakan yang tidak begitu berpendidikan. Sementara negara,
dalam kepentingannya untuk mengendalikan pertentangan kapital menjadi makin
intervensionis.Batas antara wilayah publik dan private , baik dalam pengertian
ekonomi politik maupun budaya makin tipis. Organisasi besar dan kelompok
kepentingan menjadi partner politik kunci bagi negara , menghasilkan bentuk
politik feodal baru yang makin
menggantikan peran-peran yang semula
dilakoni masyarakat. Berkembangnya karakteristik kepemilikan media massa, khususnya tatkala
kekuatan komersial mengubah fungsi komunikasi publik menjadi Public Relation dan makin menguatnya periklanan dan hiburan, maka fungsi kritis
media massa makin terkikis. Publik lalu terkotak-kotak sedemikian rupa,
sehingga kehilangan daya ikatnya.
Kisah memudarnya Public Sphere masih
merupakan isu yang hangat hingga kini, tentu saja dengan modifikasi versi olah
kalangan pemerhati dan peneliti.Bahkan kemudian ada yang mempertanyakan akan
manfaat konsep Public Sphere. Meski demikian konsep ini tetap sesuatu yang
berharga guna memahami proses sosial di mana media massa menjadi salah satu
kekuatan dalam konstelasi kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam masyarakat.
Public Sphere dalam pengertian politik berarti menyediakan
sebuah ruang – berupa wacana, lembaga-lembaga, suatu ruang topografik –
di mana orang dalam perannya sebagai warga memiliki akses masuk di dalam sebuah dialog
kemasyarakatan yang sedang mempersoalkan sesuatu demi kepentingan
umum, atau dengan kata lain akses menuju dunia politik dalam pengertian yang
luas.Ruang yang demikian ini, dengan kondisi komunikasi tertentu yang
mewarnainya, menjadi sesuatu hal yang penting dalam demokrasi. Fungsi Public
Sphere dengan demikian adalah memenuhi persyaratan komunikasi tertentu sabagai variabel terbentuknya
demokrasi.
Pemikiran intelektual Habermas
berakar dari mazhab Frankfurt dan tesisnya mengenai Public Sphere menjadi
inspirasi bagi riset media kritis. Akan tetapi menurut Peters(1993), dasar
pemahaman Habermas tentang demokrasi dan Public Sphere tidaklah murni
dikendalikan oleh tradisi liberal Anglo- American dengan ide dasarnya tentang
“market – place of ideas” Dalam diskursus liberal ( yang klasik dan bukan neo-liberal) tentang media dan demokrasi biasanya tidak menggunakan istilah Public Sphere.
Gagasan Habermas tentang Public
Sphere tak sepi dari kritikan, menurut Garnham( 1992), Peters(1993), dan Fraser
( 1992) secara umum tercatat empat dimensi yang menjadi sasaran pertanyaan dan
kritik yakni : Media institutions, media representation, struktur sosial
dan interaksi sosiokultural. Pemisahan
ini hanyalah kepentingan memudahkan analisis karena sebenarnya keempatnya
saling terkait dan tak terpisahkan.
Dimensi institusi berkenaan dengan
organisasi, pendanaan, regulasi. Dimensi representasi berkaitan dengan cakupan
jurnalistik. Kedua dimensi ini lebih banyak mendapat perhatian. Sementara
dimensi struktur sosial lebih berhubungan dengan cakrawala yang lebih luas di
mana di dalamnya terdapat faktor-faktor
pembentuk Public Sphere. Sedangkan dimensi interaksi sosiokultural
melihat serbaneka masyarakat pembentuk Public Sphere dan kurang memusatkan pada
media massa.
Faktor –faktor dalam dimensi
struktur sosial di antaranya berkaitan dengan ekologi politik dari media,
menyusun batas-batas dari institusi
media dan profil organisasi demikian juga sifat-sifat dari informasi dan
bentuk-bentuk representasi yang memungkinkan diartikulasikan. Dimensi struktur
sosial ini tentu saja akan berdampak pada pola interaksi sosiokultural. Dengan
demikian struktur sosial secara kompleks
membentuk seperangkat kondisi bagi Public Sphere yang bisa juga diisi oleh
ketiga dimensi yang lainnya.Dimensi struktur sosial tentu saja menjadi dimensi
yang paling sulit diraih sehingga bagi sebagian kalangan ahli dimensi ini
sebaiknya diabaikan saja jika kita tidak ingin kehilangan fokus soal Public
Sphere.Meski, perannya tidak bisa kita anggap remeh.
Satu hal yang patut dicatat dalam
telaah mengenai Public Sphere ini adalah bahwa dalam masyarakat yang
cenderung lemah demokrasinya dan struktur masyarakatnya sangat tidak egaliter tidak akan memberi kesempatan bagi
terciptanya Public Sphere.
III. Konsep Publik Sphere Dalam Lingkup
Media Masa Dan Contoh Kasus.
Jurgen Habermas mengidamkan adanya
sebuah situasi di mana munculnya sebuah public sphere (ruang publik), dimana
komunikasi dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi.
Dalam esainya, The Public Sphere, Habermas melihat perkembangan wilayah sosial
macam itu dalam sejarah masyarakat modern. Wilayah itu disebutnya “dunia
publik” (public sphere). Semua wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan
kita untuk membentuk opini publik dapat disebut dunia publik. Semua warga
masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki dunia macam itu. Mereka sebetulnya
aalah orang-orang privat, bukan orang dengan kepentingan bisnis atau
profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk
suatu publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan,
melainkan soal-soal kepentingan umum yang dibicarakan tanpa paksaan. Baru dalam
situasi ini orang-orang privat ini berlaku sebagai publik, sebab mereka
memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat secara bebas dan menyatakan
serta mengumumkan opini-opini mereka secara bebas (Hardiman, 1993: 128-129).
Menurut Peter Dahlgren (2002) dalam
tatanan masyarakat modern yang tidak memungkinkan untuk munculnya keterwakilan
masyarakat dalam pembicaraan komunikasi politik kecuali dalam jumlah yang
relatif kecil, maka media massa pada akhirnya diharapkan menjadi institusi
public sphere.
Jika dahulu Habermas mencontohkan
praktek konkret public sphere dapat kita lihat di coffee house, maka kemunculan
media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi, maka peran
mereka menurut John Hartley (1992) telah tergantikan oleh media massa.
Namun, pesoalan yang sampai sekarang
belum terselesaikan adalah bagaimana menumbuhkan public sphere macam itu,
sementara yang namanya dominasi selalu ada di dalam ruang-ruang sosial dan
kehidupan masyarakat itu sendiri.
Bahkan jika kita berbicara tentang
media massa, banyak pula dibicarakan adanya kemungkinan-kemungkinan untuk
menumbuhkan public sphere di dalam media massa. Media massa diidamkan untuk
menjadi ruang bagi publik untuk menyampaikan segala macam gagasan, pemikiran,
secara bebas untuk kemudian menjadi opini publik itu sendiri.
Permasalahan yang terjadi adalah
ternyata kemungkinan-kemungkinan untuk menciptakan public sphere di dalam media
massa adalah sesuatu yang teramat sulit jika tidak mau dikatakan mustahil.
Sejumlah asumsi yang mendasari
sulitnya mengharapkan kemunculan publis sphere di dalam media massa antara lain
adalah masalah akses. Bahwa tidak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan
yang sama untuk memiliki akses terhadap media massa itu sendiri. Media massa
cenderung melakukan seleksi terhadap siapa-siapa yang berhak atau boleh
memiliki akses terhadap media tersebut.
Ruang yang terbatas di dalam media
massa juga seringkali dijadikan dalih bagi media massa untuk tidak menyediakan
ruangan bagi dunia publik. Ruangan yang dimiliki oleh media massa mayoritas
sudah dikavling oleh program-program media itu sendiri, bahkan seringkali
ruangan tersebut telah dipesan oleh para pengiklan. Jadi tidak tersisa lagi
bagi ruang publik.
Ruangan-ruang media massa selalu
penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan para pemilik media, pemodal,
politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki kapital, maka dia
memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa dibandingkan dengan
orang-orang yang tidak memiliki kapital tersebut.
Habermas (1997: 141-250) sendiri
kemudian sempat mengutarakan tentang terjadinya degradasi public sphere yang
salah satunya disebabkan justru oleh praktek media massa, dan juga ditambah
dengan budaya konsumtif. Media massa dianggap bereperan dalam mengubah
masyarakat menjadi masyarakat yang konsumtif, dan bukan lagi masyarakat yang
logis. Budaya konsumtif telah mengarahkan masyarakt untuk lebih peduli terhadap
konsumerisme daripada politik. Hal ini juga yang menyebabkan masyarakat seakan
makin memberikan tempat bagi kapitalisme untuk ‘menguasai’ praktek media massa.
Media massa menjadi tempat untuk iklan dan promosi barang-barang, daripada
tempat bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi politik yang penting.
Contoh kasus yang paling baru dalam
konsep publik sphere baru-baru ini di Indonesia berkaitan dengan situasi
politik dalam negri, mulai dari terbukanya sidang gugatan pemilihan presiden
tahun 2014 di MK, serta sidang yang dilaksanakan oleh DPR/DPRD saat menentukan
ketuanya. Meski beberapa pihak membatasi konsep publik sphere di media massa
dengan kekuatan politiknya, masyarakat mulai dapat menggunakan ruang publik
tersendiri seperti social media twitter, serta diskusi-diskusi terbuka yang
dilakukan oleh beberapa stasiun televisi swasta lainnya yang tidak membatasi
konsep publik sphere di media massa.
KESIMPULAN
Perubahan sosial adalah proses
sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta sema unsur-unsur budaya dan
sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara kukarela
atau dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan,
budaya, dan sistem sosial lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan
pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial yang baru
Perubahan sosial terjadi salah
satunya adalah karena terjadinya proses komunikasi yang terdapat dalam
masyarakat. Komunikasi memiliki peran penting dalam terjadinya perubahan sosial
dalam masyarakat meskipun terdapat faktor-faktor lain yang menebabkan
terjadinya perubahan sosial pada masyarakat.
Public Sphere dikonsepsionalisasikan
sebagai suatu realitas kehidupan sosial di dalam mana terdapat suatu proses
pertukaran informasi dan berbagai pandangan berkenaan dengan pokok persoalan
yang tengah menjadi perhatian umum sehingga dalam proses tadi terciptalah
pendapat umum (publik).
Namun saat ini, ruang-ruang media
massa selalu penuh oleh program-program yang berisikan kepentingan para pemilik
media, pemodal, politisi, dan pengiklan. Bagi siapa-siapa yang memiliki
kapital, maka dia memiliki akses yang lebih luas terhadap media massa
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kapital tersebut.
Contoh kasus yang paling baru dalam
konsep publik sphere baru-baru ini di Indonesia berkaitan dengan situasi
politik dalam negri, mulai dari terbukanya sidang gugatan pemilihan presiden
tahun 2014 di MK, serta sidang yang dilaksanakan oleh DPR/DPRD saat menentukan
ketuanya. Meski beberapa pihak membatasi konsep publik sphere di media massa
dengan kekuatan politiknya, masyarakat mulai dapat menggunakan ruang publik
tersendiri seperti social media twitter, serta diskusi-diskusi terbuka yang
dilakukan oleh beberapa stasiun televisi swasta lainnya yang tidak membatasi
konsep publik sphere di media massa.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.
Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos., M. Si, 2006, Sosiologi Komunikasi : Teori,
Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group.
Sudarma,
Momon. 2014, Sosiologi Komunikasi, Jakarta, Mitra Wacana Media.
Habermas,
Jürgen (German(1962) English Translation 1997). The Structural Transformation
of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society.
Cambridge Massachusetts: The MIT Press
Dahlgren,
Peter, The Public Sphere as Historical Narrative, dalam Denis McQuail (ed),
Reader in Mass Communication Theory, Thousand Oakes: Sage, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar