KATA PENGANTAR
Puji
syukur saya panjatkan kepada rahmat tuhan YME atas kesempatan yang diberikan
sehingga saya masih dapat diberikan usia untuk menyusun makalah ini. Makalah
ini disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
dalam kuliah saya di Universitas Budi Luhur.
Pada
kesempatan kali ini, saya membahas mengenai materi-materi yang telah saya
pelajari selama kuliah saya dalam satu semester dalam mata kuliah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan yang dibimbing oleh dosen saya Bpk.
_____________. materi-materi tersebut diantaranya adalah;
ü
Pengertian Undang Undang Dasar, Konstitusi
Dan Konvensi.
ü
Sistem Pemerintahan Di Indonesia
Sebelum Dan Sesudah Amandemen UUD 1945.
ü
Pancasila Sebagai Paradigma
“Pembangunan :Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Hukum, Ketahanan Dan Keamanan, Dan Pembangunan Umat
Beragama’
ü
Kedudukan, Fungsi Dan Tujuan
Wawasan Nusantara,
ü
Pengertian, Dan Tujuan Geopolitik
Dan Geostrategi Di Indonesia.
ü
Otonomi Daerah Dan Tujuannya
ü
Konsep Dan Ciri Masyarakat
Madani.
Semoga
makalah yang saya susun ini bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa yang berkesempatan untuk membaca
makalah yang susun ini. Apabila terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun
penyampaian, saya sebagai manusia tidak luput dari kesalahan. untuk itu, mohon
dibukakan pintu maaf.
Jakarta, 19 Desember 2014
Penyusun.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I.
PENDAHULUAN 3 LATAR BELAKANG MASALAH 3
RUMUSAN MASALAH 3
BAB II. PEMBAHASAN 6
PENGERTIAN UUD, KONSTITUSI DAN KONVENSI
|
6
|
SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945
|
9
|
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA “PEMBANGUNAN :POLITIK, EKONOMI, SOSIAL
BUDAYA, HUKUM, KETAHANAN DAN KEAMANAN, DAN PEMBANGUNAN UMAT BERAGAMA.
|
20
|
KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TUJUAN WAWASAN NUSANTARA
|
30
|
PENGERTIAN, DAN TUJUAN GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI DI INDONESIA.
|
31
|
OTONOMI DAERAH DAN TUJUANNYA
|
32
|
KONSEP DAN CIRI MASYARAKAT MADANI.
|
35
|
BAB III.
PENUTUP 38
KESIMPULAN 38
SARAN 38
DAFTAR PUSTAKA
39
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Tujuan
Penulisan Makalah
Tujuan
Penulisan makalah ini selain sebagai salah satu Tugas Akhir Semester dalam
studi saya di mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, adalah juga
sebagai media sarana bagi saya pribadi serta rekan-rekan mahasiswa lain untuk
lebih mengenal kembali sendi kehidupan sebagai warga negara serta sistem-sistem
pemerintahan di Indonesia. Selain makalah ini saya sampaikan melalui makalah
fisik, makalah ini juga telah saya lampirkan dalam blog pribadi saya agar rekan-rekan mahasiswa dapat membaca makalah
ini dan dapat mengambil nilai-nilai positif yang terdapat dalam makalah saya
kali ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam
makalah ini, pada bagian 1 pembahasan, saya membahas mengenai Pengertian Undang
Undang Dasar, Konstitusi dan Konvensi. Pengertian konstitusi, dalam praktik
dapat berarti lebih luas dari pada UUD, tetapi ada juga yang menyamakan dengan
pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik istilah constitutin merupakan
sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-perturan baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara
bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.
Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar tertulis yang menjadi dasar semua
undang-undang dan peraturan lain dalam suatu negara yang mengatur bentuk,
sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, wewenang badan-badan
pemerintahan,dll.
Keterkaitan konstitusi dengan UUD yaitu konstitusi adalah hukum dasar
tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD
memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin
baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan.
Selanjutnya, pada pembahasan
ke-dua, saya membahas mengenai Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum dan
Sesudah Amandemen UUD 1945. Dalam perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, banyak sekali
perubahan-perubahan yang terjadi. Baik dari segi lembaga eksekutif hingga
lembaga legislatif. Menurut sejarah, sistem pemerintahan di Indonesia telah
mengalami beberapa amandemen. Mulai dari sistem serikat sampai dengan demokrasi
kerakyatan.
Perubahan setelah Amandemen UUD 1945 sangat signifikan dan terjadi secara
menyeluruh di Sistem Pemerintahan di Indonesia. Mulai dari MPR, DPR, Presiden,
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, hingga BPK. Perubahan terjadi pada
wewenang serta cara pengangkatan atau pemilihan badan-badang eksekutif dan
legislatif tersebut.
Dalam pemabahasan ke-tiga, kami saya membahas mengenai Pancasila sebagai
paradigma pembangunan, baik dari segi Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Hukum,
Ketahanan dan Keamanan, serta Pembangunan Umat Beragama. Dalam kehidupan
bermasayarakat, beragama dan bernegara, Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar
pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap
aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai
konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila
sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Pada pembahasan selanjutnya, saya membahas mengenai Kedudukan, Fungsi dan
Tujuan Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara sebagai Wawassan Nasional Bangsa Indonesia merupakan
ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi
penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan cita – cita dan
tujuan nasional. Dengan demikian, Wawasan Nusantara menjadi landasan Visional
dalam menyelenggarakan kehidupan Nasional.
Selanjutnya, saya membahas mengenai Pengertian dan Tujuan Geopolitik dan
Geostrategi di Indonesia. Secara umum geopolitik adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia
mengenai diri, lingkungan, yang berwujud Negara kepulauan berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945.
Otonomi daerah dan Tujuannya menjadi pokok bahasan ke-enam dalam makalah
saya ini. Tujuan otonomi
daerah kerap menjadi pembicaraan dan bahan diskusi yang menarik bahkan hingga
saat ini setelah konsepsi otonomi daerah itu diselenggarakan di Indonesia.
Mungkin inilah akibat belum tercapainya tujuan otonomi daerah itu sendiri
sesuai dengan gagasan awal pelaksanaannya atau mungkin lemahnya indikasi akan
tercapainya tujuan otonomi daerah dengan melihat realitas pelaksanaan otonomi
daerah dengan berbagai macam ekses yang telah ditimbulkannya. Hal ini
dikarenakan pembicaraan mengenai tujuan otonomi daerah selalu dibarengi dengan
harapan untuk mewujudkannya.
Terakhir, saya membahas mengenai Konsep dan Ciri masyarakat Madani. Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat
sipil (civil society) yang mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari
proses penyemaian demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini
membahas tentang masyarakat madani yang umumnya dikenal dengna istilah
masyarakat sipil (civil society), pengertiannya, ciri-cirinya, sejaraha
pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat dan di Indonesia serta
unsur-unsur di dalamnya.
BAB II
PEMBAHASAN
BAB II.1 PENGERTIAN
UUD, KONSTITUSI DAN KONVENSI
Konstitusi atau Undang-undang Dasar
dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada
pemerintahan negar biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Hukum ini tidak mengatur hal-hal
yang terperinci, melainkan hanya menjabarkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar
bagi peraturan-peraturan lainnya. Dalam kasus bentukan negara, konstitusi
memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini
merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai
prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam
bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada
umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya.
Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan
fungsi pemerintahan negara.
Menurut pakar lain, konstitusi
berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian
istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau
menyusun dan menyatakan suatu negara. Sehingga konstitusi mengandung permulaan
dari segala peraturan mengenai suatu negara, dengan demikian suatu konstitusi
memuat suatu peraturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk
menegakkan bangunan besar yaitu negara.
Bertolak dari konsepsi tersebut, maka secara umum istilah konsitusi
menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa
kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah negara.
Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis dan yang tidak tertulis.
Pengertian konstitusi, dalam prakteknya dapat berarti lebih luas
daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan
pengertian Undang-Undang Dasar.
L.J.
Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau gronwet
(Undang-undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan
constitution (konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak
tertulis. Sementara Sri Soemantri M, dalam disertasinya mengartikan konstitusi
sama dengan Undang-undang Dasar. Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai dengan
praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara di dunia termasuk di
Indonesia.
Herman Heller membagi pengertian konstitusi menjadi 3
yaitu:
1.
Die Politische verfassung als
gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah mencerminkan kehidupan politik
di dalam masyarakat sebagai kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan
sosiologis.
2.
Die Verselbstandigte
rechtsverfassung. Konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam
masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.
3.
Die geshereiben verfassung.
Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi
yang berlaku dalam suatu negara.
Dari pendapat Herman Heller tersebut dapatlah kita
simpulkan bahwa jika Undang-Undang Dasar dihubungkan dengan konstitusi, maka
Undang-Undang Dasar itu baru merupakan sebagian dari pengertian konstitusi yang
tertulis saja. Disamping itu konstitusi itu tidak hanya bersifat yuridis
semata, tetapi mengandung pengertian sosiologis dan politis.
Istilah konstitusi dalam perkembangannya mempunyai dua
pengertian:
1.
Dalam pengertian yang luas,
konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar
(droit constitutionelle), baik yang tertulis ataupun tidak tertulis ataupun
campuran keduanya;
2.
Dalam pengertian sempit (terbatas),
konstitusi berarti piagam dasar atau Undang-undang Dasar (loi constitutionelle),
ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara. Misalnya
UUD RI 1945, Konstitusi USA 1787.
Pengertian
Konvensi.
Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention. Secara akademis
seringkali istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau
contitusional seperti convention of the constitution. Dicey seorang sarjana
Inggris yang mula-mula mempergunakan istilah konvensi sebagai ketentuan
ketatanegaraan, menyatakan bahwa Hukum Tata Negara (Constitutional Law) terdiri
atas dua bagian, yaitu:
1.
Hukum Konstitusi (The Law of The Constitution) yang terdiri dari :
a)
Undang-undang tentang Hukum Tata Negara (Statuta Law)
b)
Common Law, yang berasal dari keputusan-keputusan Hakim (judge-made maxims)
dan ketentuan-ketentuan dari kebiasaan serta adat temurun (tradisional)
2.
Konvensi-konvensi ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang
berlaku dan dihormati dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat
dipaksakan oleh pengadilan apabila terjadi pelanggaran terhadapnya.
Dari apa yang dikemukakan oleh AV Dicey tersebut jelaslah bahwa konvensi
ketatanegaraan harus memenuhi cirri-ciri sebagai berikut :
·
Konvensi itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan
·
Konvensi tumbuh, berlaku, diikuti dan dihormati dalam praktik
penyelenggaraan Negara
·
Konvensi sebagai bagian dari konstitusi, apabila ada pelanggaran
terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan.
Adapun contoh konvensi ketatanegaraan secara umum (convention of the
constitution) adalah:
·
Raja harus mensahkan setiap rencana undang-undang yang telah disetujui oleh
kedua majelis dalam parlemen
·
Majelis tinggi tidak akan mengajukan sesuatu rencana undang-undang keuangan
(money bill)
·
Menteri-menteri meletakkan jabatan apabila mereka tidak mendapat kepercayaan
dari majelis rendah
semua contoh
diatas dalam kehidupan ketatanegaraan diterima dan ditaati, walaupun bukan
hukum dalam arti sebenarnya.
Dari ketentuan tersebut di atas
dapat diketahui bahwa konvensi itu berkembang karena kebutuhan dalam praktek
penyelenggaraan Negara. Penyelenggara Negara itu adalah alat-alat perlengkapan
Negara atau lembaga-lembaga Negara. Dalam UUD 1945 sudah cukup jelas
ketentuan-ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga Negara. Berikut ini akan
dibahas tentang konvensi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Konvensi tidak identik dengan
kebiasaan. Dengan demikian, Konvensi juga tidak identik dengan kebiasaan
ketatanegaraan. kebiasaan menuntut adanya perulangan yang teratur, sedangkan
konvensi tidak harus didasarkan atas perulangan. Konvensi ketatanegaraan (the convention of
constitution) dapat berbentuk kebiasaan, dapat pula berbentuk praktik praktik
ataupun constitutional usages. Terhadap hal ini, yang penting adalah bahwa kebiasaan, kelaziman dan praktik
yang harus dilakukan dalam proses penyelenggaraan negara, meskipun tidak
tertulis, dianggap baik dan berguna dalam penyelenggaraan Negara menurut undang-undang dasar. Oleh karena itu,
meskipun tidak didasarkan atas ketentuan konstitusi tertulis, hal ini tetap
dinilai penting secara konstitusional.
Konvensi adalah hukum yang tumbuh
dalam praktik penyelenggaraan Negara untuk melengkapi, menyempurnakan, dan
menghidupkan (mendinamisasi) kaidah- kaidah hukum perundang-undangan atau hukum
adat ketatanegaraan.
Konvensi ketatangeraan mempunyai
kekuatan yang sama dengan Undang – undang karena diterima dan dijalankan,
meskipun hakim di pengadilan tidak terikat olehnya[6], Maka Konvensi
Ketatanegaraan harus ditaati sebagai konstitusi juga, yaitu sebagai konstitusi
tidak tertulis. Ketentuan Konvensi ketatanegaraan itu sendiri dapat diubah
yaitu dengan cara melakukan penyimpangan yang dianggap perlu sebagai konvensi
ketatanegaraan baru, yang untuk selanjutnya setelah dilakukan berulang-ulang
menjadi kebiasaan baru pula.
Konvensi tidak selalu merupakan ketentuan yang tidak
tertulis, yang timbul dari persetujuan, tapi bisa saja berbentuk tertulis.
Konvensi mungkin saja merupakan persetujuan yang di tanda tangani
pemimpin-pemimpin negara seperti antara Wakil Presiden Republik Indonesia
dengan dan Badan Pekerja pada tanggal 16 Oktober 1945 atau suatu memorandum
yang dikeluarkan setelah pembicaraan antara Menteri-menteri seperti Maklumat
Pemerintah pada tanggal 14 November 1945
BAB II. 2. SISTEM
PEMERINTAHAN DI INDONESIA SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945
Dalam perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, banyak sekali
perubahan-perubahan yang terjadi. Baik dari segi lembaga eksekutif hingga
lembaga legislatif. Menurut sejarah, sistem pemerintahan di Indonesia telah
mengalami beberapa amandemen. Mulai dari sistem serikat sampai dengan demokrasi
kerakyatan.
Amandemen yang dimaksud adalah amandemen dengan dasar yang sama yaitu UUD
1945, dimana UUD 1945 telah dirubah sejak pertama kali dibuat oleh pendiri
republik ini. Perubahan tersebut dapat kita cermati tertuang dalam Buku UUD
1945 dimana didalamnya terdapat pasal-pasal yang dibelakangnya terdapat tanda
bintang (*). Jumlah bintang tersebut adalah jumlah amandemen di pasal tersebut.
Berikut ini adalah perbandingan antara Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum
dan Sesudah Amandemen.
A. Sistem Pemerintahan Indonesia Sebelum di Amandemen
Sistem
Pemerintahan Negara Indonesia Berdasar UUD 1945 sebelum Diamandemen tertuang
dalam penjelesan UUD 1945 yang membahas 7 kunci pokok sistem pemerintahan
negara Indonesia, yaitu :
·
Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)
·
Sistem Konstitusinal.
·
Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
·
Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah
MPR.
·
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.
·
Menteri Negara adalah pembantu presiden, dan tidak bertanggung jawab
terhadap DPR.
·
Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Berdasarkan 7 kunci pokok diatas, Indonesia pada masa dahulu menganut
sistem pemerintahan Presidensial menurut UUD 1945. Sistem pemerintahan tersebut
dijalankan dimasa kekuasaan Presiden Suharto. Dimana presiden pada waktu itu
memegang peranan yang amat besar dalam pemerintahan.
Pada masa tersebut, Presiden memiliki beberapa wewenang. Berikut Wewenang
Presiden Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Amandemen :
·
Pemegang kekuasaan legislative.
·
Pemegang kekuasaan sebagai kepala pemerintahan.
·
Pemegang kekuasaan sebagai kepala Negara.
·
Panglima tertinggi dalam kemiliteran.
·
Berhak mengangkat & melantik para anggta MPR dari utusan daerah atau
glngan.
·
Berhak mengangkat para menteri dan pejabat Negara.
·
Berhak menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan Negara
lain.
·
Berhak mengangkat duta dan menerima duta dari Negara lain.
·
Berhak memberi gelaran, tanda jasa, dan lain – lain tanda kehrmatan.
·
Berhak memberi grasi, amnesty, ablisi, dan rehabilitasi.
Wewenang tersebut biasa disebut dengan hak prerogratif presiden. Tentu
dalam prakteknya Sistem Pemerintahan Presidensial ini memiliki beberapa dampak
negatif, berikut adalah dampak negatif dari Sistem Pemerintahan Presidensial :
·
Terjadi pemusatan kekuasaan Negara pada satu lembaga, yaitu presiden.
·
Peran pengawasan & perwakilan DPR semakin lemah.
·
Pejabat – pejabat Negara yang diangkat cenderung dimanfaat untuk lyal dan
mendukung kelangsungan kekuasaan presiden.
·
Kebijakan yang dibuat cenderung menguntungkan rang – rang yang dekat
presiden.
·
Menciptakan perilaku KKN.
·
Terjadi persnifikasi bahwa presiden dianggap Negara.
·
Rakyat dibuat makin tidak berdaya, dan tunduk pada presiden.
Tetapi juga
Sistem Presidensial ini memiliki dampak positif, yaitu:
·
Presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan.
·
Presiden mampu menciptakan pemerintahan yang kmpak dan slid.
·
Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti.
·
Knflik dan pertentangan antar pejabat Negara dapat dihindari.
Pada akhir tahun 1999, Indonesia mengalami masa reformasi. Dimana terjadi
demonstrasi besar-besaran di seluruh Indonesia Raya dalam rangka untuk
menggulingkan Presiden Suharto pada waktu itu. Karena rakyat Indonesia bertekat
untuk membentuk suatu pemerintahan yang demokratis alias bebas. Oleh karena itu dibentuklah Sistem
Pemerintahan berdasarkan Konstitusi (Konstitusional). Yang bercirikan:
·
Adanya pembatasan kekuasaan ekskutif.
·
Jaminan atas hak – hak asasi manusia dan warga Negara.
B. Sistem Pemerintahan Indonesia Sesudah di Amandemen
Setelah terjadi amandemen, Sistem Pemerintahan Indonesia mengalami
perubahan pokok-pokok kunci pemerintahan, yaitu :
·
Bentuk Negara kesatuan dengan prinsip otonomi yang luas. Wilayah Negara
terbagi menjadi beberapa prvinsi.
·
Bentuk pemerintahan adalah Republik.
·
Sistem pemerintahan adalah presidensial.
·
Presiden adalah kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.
·
Kabinet atau menteri diangkat leh presiden dan bertanggung jawab kepada
presiden.
·
Parlemen terdiri atas dua (bikameral), yaitu DPR dan DPD.
·
Kekuasaan yudikatif dijalankan leh mahkamah agung dan badan peradilan di
bawahnya.
Pada dasarnya tidak ada yang banyak berubah, Indonesia tetap menganut sistem
pemerintahan Presidensial dimana Presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Parlemen.Namau ada
beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah
sebagai berikut :
·
Presiden sewaktu – waktu dapat diberhentikan MPR atas usul dan pertimbangan
dari DPR.
·
Presiden dalam mengangkat pejabat Negara perlu pertimbangan dan/atau
persetujuan DPR.
·
Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan dan/atau
persetujuan DPR.
·
Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang –
undang dan hak budget (anggaran).
Dengan demikian, ada perubahan – perubahan baru dalam sistem pemerintahan
Indnesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama.
Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan presiden secara langsung,
sistem bicameral, mekanisme check and balance, dan pemberian kekuasaan yang
lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Perbedaan Sistem Pemerintahan Sebelum dan Sesudah
Amandemen
Dalam sejarah indonesia, sudah beberapa kali pemerintah melakukan amandemen
pada UUD 1945. Hal ini tentu saja dilakukan untuk menyesuaikan undang-undang
dengan perkembangan zaman dan memperbaikinya sehingga dapat menjadi dasar hukum
yang baik. Dalam proses tersebut, terdapat perbedaan antara sistem pemerintahan
sebelum dilakukan amandemen dan setelah dilakukan amandemen. Perbedaan tersebut
adalah:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Sebelum
dilakukan amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang
dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
WEWENANG MPR Sebelum Amandemen :
·
Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara
yang lain, termasuk penetapan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang
pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.
·
Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan
Majelis.
·
Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden Wakil Presiden.
·
Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/ Mandataris mengenai pelaksanaan
Garis-Garis Besar Haluan Negara dan menilai pertanggungjawaban tersebut.
·
Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dan memberhentikan Presiden
dalam masa jabatannya apabila Presiden/mandataris sungguh-sungguh melanggar
Haluan Negara dan/atau Undang-Undang Dasar.
·
Mengubah undang-Undang Dasar.
·
Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
·
Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota.
·
Mengambil/memberi keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji
anggota.
·
Setelah amandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang
setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR,
DPD, BPK, MA, dan MK.
WEWENANG MPR Setelah Amandemen :
·
Menghilangkan supremasi kewenangannya
·
Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN
·
Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih
secara langsung melalui pemilu)
·
Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
·
Melantik presiden dan/atau wakil presiden
·
Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
·
Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden dalam
hal terjadi kekosongan Wakil Presiden
·
Memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam Pemilu sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya, jika
Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
·
MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Sebelum
Amandemen :
Presiden tidak
dapat membubarkan DPR yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat melalui
pemilihan umum secara berkala lima tahun sekali. Meskipun demikian, Presiden
tidak bertanggung jawab kepada DPR.
WEWENANG DPR
Sebelum Amandemen :
·
Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
·
Memberikan persetujuan atas PERPU.
·
Memberikan persetujuan atas Anggaran.
·
Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta
pertanggungjawaban presiden.
·
Tidak disebutkan bahwa DPR berwenang memilih anggota-anggota BPK dan tiga
hakim pada Mahkamah Konstitusi.
·
Setelah Amandemen
·
Setelah amandemen, Kedudukan DPR diperkuat sebagai lembaga legislatif dan
fungsi serta wewenangnya lebih diperjelas seperti adanya peran DPR dalam
pemberhentian presiden, persetujuan DPR atas beberapa kebijakan presiden, dan
lain sebagainya.
WEWENANG DPR Setelah Amandemen
·
Membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat
persetujuan bersama
·
Membahas dan memberikan persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
·
Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan
bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan
·
Menetapkan APBN bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
·
Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan
pemerintah
3. PRESIDEN
SEBELUM
AMANDEMEN
Presiden selain
memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan
legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar. Tidak ada aturan mengenai
batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme
pemberhentian presiden dalam masa jabatannya, sehingga presiden bisa menjabat
seumur hidup.
WEWENANG
Presiden sebelum Amandemen :
·
Mengangkat dan memberhentikan anggota BPK.
·
Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan
yang memaksa)
·
Menetapkan Peraturan Pemerintah
·
Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
PEMILIHAN
Presiden dan
Wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR.
SETELAH AMANDEMEN
Kedudukan
presiden sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan berwenang membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan DPR. Masa jabatan presiden adalah lima tahun
dan dapat dipilih kembali selama satu periode.
WEWENANG
Presiden setelah Amandemen :
·
Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD
·
Presiden tidak lagi mengangkat BPK, tetapi diangkat oleh DPR dengan
memperhatikan DPD lalu diresmikan oleh presiden.
·
Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara
·
Mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Presiden melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR
serta mengesahkan RUU menjadi UU.
·
Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (dalam kegentingan
yang memaksa)
·
Menetapkan Peraturan Pemerintah
·
Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
·
Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain
dengan persetujuan DPR
·
Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR
·
Menyatakan keadaan bahaya
PEMILIHAN
Calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilu sebelumnya. Pilpres pertama kali di Indonesia diselenggarakan
pada tahun 2004.
Jika dalam
Pilpres didapat suara >50% jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20%
di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari separuh jumlah provinsi
Indonesia, maka dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Jika
tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, maka pasangan
yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pilpres mengikuti
Pilpres Putaran Kedua. Pasangan yang memperoleh suara terbanyak dalam Pilpres
Putaran Kedua dinyatakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih.
4. MAHKAMAH
KONSTITUSI
SEBELUM
AMANDEMEN :
Mahkamah
konstitusi berdiri setelah amandemen
SETELAH
AMANDEMEN :
WEWENANG
·
Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
hasil Pemilihan Umum
·
Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
PEMILIHAN
KETUA MAHKAMAH KONSTITUSI
Ketua Mahkamah
Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3 tahun.
Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit
aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga
berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim
Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun). Ketua MK yang pertama
adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara
Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal
antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003.
Jimly terpilih
lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah
pada 22 Agustus 2006. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat
melakukan voting tertutup untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti
2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie
Fadjar sebagai wakil ketua.
HAKIM KONSTITUSI
Mahkamah
Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim
Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi
adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi
periode 2003-2008 adalah:
1.
Jimly Asshiddiqie
2.
Mohammad Laica Marzuki
3.
Abdul Mukthie Fadjar
4.
Achmad Roestandi
5.
H. A. S. Natabaya
6.
Harjono
7.
I Dewa Gede Palguna
8.
Maruarar Siahaan
9.
Soedarsono
Hakim Konstitusi
periode 2008-2013 adalah:
1.
Jimly Asshiddiqie, kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Harjono
2.
Maria Farida Indrati
3.
Maruarar Siahaan
4.
Abdul Mukthie Fajar
5.
Mohammad Mahfud MD
6.
Muhammad Alim
7.
Achmad Sodiki
8.
Arsyad Sanusi
9.
Akil Mochtar
5. MAHKAMAH AGUNG
SEBELUM
AMANDEMEN
Kedudukan: :
Kekuasan
kehakiman menurut UUD 1945 sebelum amandemen dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman (Pasal 24 (1)). Kekuasaan kehakiman hanya terdiri
atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga ini
dalam tugasnya diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau
dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama eksekutif.
WEWENANG
Sebelum adanya
amandemen, Mahkamah Agung berwenang dalam kekuasaan kehakiman secara utuh
karena lembaga ini merupakan lembaga kehakiman satu-satunya di Indonesia pada
saat itu.
SETELAH
AMANDEMEN
Kedudukan:
MA merupakan
lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman disamping itu sebuah mahkamah
konstitusi diindonesia (pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen ). Dalam
melaksanakan kekusaan kehakiman , MA membawahi Beberapa macam lingkungan
peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
peradilan tata usaha negara( Pasal 24 (2) UUD 1945 hasil amandemen).
WEWENANG
Fungsinya
berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti
Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
Berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
Mengajukan 3
orang anggota Hakim Konstitusi
Memberikan
pertimbangan dalam hal Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
6. BPK
SEBELUM
AMANDEMEN
Untuk memeriksa
tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan
yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil Pemeriksaan itu
diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat” PASAL 23
SESUDAH
AMANDEMEN
Pasal 23F
1.
Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan
diresmikan oleh Presiden.
2.
Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota.
Pasal 23G
1.
BPK berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap
propinsi
2.
Ketentuan lebih lanjut mengenai BPK di atur dengan undang-undang
3.
BAB II.3. PANCASILA
SEBAGAI PARADIGMA “PEMBANGUNAN : POLITIK,
EKONOMI, SOSIAL BUDAYA, HUKUM, KETAHANAN DAN KEAMANAN, DAN PEMBANGUNAN UMAT
BERAGAMA’
Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan bahwa Pancasila sebagai sistem
nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir atau jelasnya
sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan
sekaligus kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya
itu di antaranya:
·
Bidang Politik
·
Bidang Ekonomi
·
Bidang Social Budaya
·
Bidang Hukum
·
Bidang kehidupan antar umat beragama, Memahami asal mula Pancasila.
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu
pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah
tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu
paradigma.
Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang
menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin
lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada
bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka
bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan.
Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka,
acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan.
Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam
melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma,
artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka
acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di
Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa
Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional.
Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar
negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup
manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur
penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia.
Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia
yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
1.
Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
2.
Sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
3.
Kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan
harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan
aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan
manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai
bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi
bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial
budaya, dan pertahanan keamanan.
1. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau
pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat
manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat
manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek
harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai
pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter.
Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas
kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik
didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena
itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral
ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral
keadilan.
Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik
yang santun dan bermoral.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan sosial politik diartikan bahwa
Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita bersama yang ingin
diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik:
·
Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik,
budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari;
·
Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan
keputusan;
·
Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan
konsep mempertahankan persatuan;
·
Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang
adil dan beradab;
·
Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan
kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut
perlu direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang
mencakup masyarakat tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan),
masyarakat industrial, dan masyarakat purna industrial. Dengan demikian,
nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi
adalah:
o
nilai toleransi;
o
nilai transparansi hukum dan kelembagaan;
o
nilai kejujuran dan komitmen (tindakan sesuai dengan kata);
o
bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan
pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara
khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila I
Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang
mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang
berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku
makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan.
Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi
liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia
lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem
sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai
subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan
pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara
keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi
kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan.
Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk
persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan
penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila
Keempat Pancasila; sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia. Dengan demikian subjudul ini menunjuk
pada pembangunan Ekonomi Kerakyatan atau pembangunan Demokrasi Ekonomi atau
pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem Ekonomi Pancasila.
Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk
sebesarbesar kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan
perekonomian nasional yang lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat
(tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang telah berpihak pada ekonomi
besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi,
usaha kecil, dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi
nasional.
Oleh sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas
asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi.
Ekonomi Kerakyatan akan mampu mengembangkan program-program kongkrit pemerintah
daerah di era otonomi daerah yang lebih mandiri dan lebih mampu mewujudkan
keadilan dan pemerataan pembangunan daerah.
Dengan demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat
dalam berekonomi, sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan
partisipatif. Dalam
Ekonomi
Kerakyatan, Pemerintah Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan
pematuhan peraturan-peraturan yang bersifat melindungi warga atau meningkatkan
kepastian hukum.
3. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Sosial
Budaya
Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila
bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini
sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena
itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat
manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial
budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat
anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu
meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya
dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan
sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan
budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya
rasa persatuan sebagai bangsa.
Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial
berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima
sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak
menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
Paradigma-baru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan
berkelanjutan, yang dalam perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan
dengan menghormati hak budaya komuniti-komuniti yang terlibat, di samping hak
negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi individu secara
berimbang (Sila Kedua).
Hak budaya komuniti dapat sebagai perantara/penghubung/penengah antara hak
negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat mengatasi sistem perencanaan
yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat dan
keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak
akan mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan
lokal/daerah dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila
Keempat), sehingga ia akan menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima)
dalam rangka memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa yang akan sanggup
menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila Ketiga).
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria
sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi
kebudayaan – kebudayaan di daerah:
1.
Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial
dan komuniti setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa;
2.
Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap
warganegara Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan,
maupun golongannya;
3.
Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad
masyarakat majemuk di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu
bangsa yang berdaulat;
4.
Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan
masyarakat majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah.
Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang
mendahulukan kepentingan perorangan;
5.
Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang
membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
4. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa
tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi
juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem
pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa.
Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan
dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh
pemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut
untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa
dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada
kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan
sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana
pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa Indonesia sebagaimana
tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara.
Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik
tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin
keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang
di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu:
1.
Adanya perlindungan terhadap HAM,
2.
Adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan
3.
Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga
mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila,
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari
hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan
segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh
negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan
ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan
peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila –
sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’,
hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak
dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila:
1.
Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.
Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.
Persatuan Indonesia,
4.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan
perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam Pancasila. Artinya,
substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum responsif (untuk
kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat).
5. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan
Umat Beragama Bangsa
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa
Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, bahkan
predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata dunia
internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural.
Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin
kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan oleh banyak
kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika
bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan
umat muslim, hal ini karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat beberapa aliran yang tidak
terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian
umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Paradigma toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat
beragama perspektif Piagam Madinah pada intinya adalah seperti berikut:
1.
Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku merupakan satu
komunitas (ummatan wahidah).
2.
Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara komunitas Islam
dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi:
a)
Bertentangga yang baik
b)
Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
c)
Membela mereka yang teraniaya
d)
Saling menasehati
e)
Menghormati kebebasan beragama.
Lima prinsip tersebut mengisyaratkan:
1)
Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi
yang didasarkan atas suku dan agama;
2)
pemupukan semangat persahabatan dan saling berkonsultasi dalam
menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi musuh
bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald
Robertson, ed.) misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul
sebagai masalah, hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang
agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan kondisi
kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan bicara mengenai
nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka
pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi.
Dalam beberapa tahap dan kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula
bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk
membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial
budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang”
di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti
kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia
yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog
Vertikal. Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi
dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan
pengakuan akan sifat dasar manusia yang indeterminis dan interdependen.
Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang menyebutkan bahwa
posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan
sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang
kreatif, yang berbudaya.
BAB II.4 KEDUDUKAN,
FUNGSI DAN TUJUAN WAWASAN NUSANTARA,
1.
Kedudukan
Wawasan Nusantara sebagai Wawassan Nasional Bangsa Indonesia merupakan
ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat agar tidak terjadi
penyesatan dan penyimpangan dalam upaya mencapai dan mewujudkan cita – cita dan
tujuan nasional. Dengan demikian, Wawasan Nusantara menjadi landasan Visional
dalam menyelenggarakan kehidupan Nasional.
Wawasan
Nusantara dalam paradigma nasional dapat dilihat dari stratifikasinya sebagai
berikut :
1)
Pancasila sebagai falsafah, ideology bangsa dan dasar negara berkedudukan
sebagai landasan idiil.
2)
Undang – Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi negara, berkedudukan
sebagai landasan konstitusional.
3)
Wawasan Nusantara sebagai visi nasional, berkedudukan sebagai landasan
Visional.
4)
Ketahanan Nasional sebagai konsepsi nasional, berkedudukan sebagai landasan
konsepsional.
5)
GBHN sebgai politik dan strategi nasional atau sebagai kebijaksanaan dasar
Nasional, berkedudukan sebagai landasan operasional.
Paradigma diatas perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perundang –
undangan. Paradigma nasional ini secara struktural dan fungsional mewujudkan
keterkaitan hierarkis pyramidal dan
secara instrumental mendasari kehidupan nasional yang berdimensi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.
Fungsi
Wawasan Nusantara berfungsi sebagai pedoman, motivasi, dorongan serta rambu
– rambu dalam menentukan segala kebijaksanaan, keputusan, tindakan dan
perbuatan bagi penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah maupun bagi
seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3.
Tujuan
Wawasan Nusantara bertujuan mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala
aspek kehidupan rakyat Indonesia yang lebih mengutamakan kepentingan nasional
daripada kepentingan individu, kelompok, golongan, suku bangsa, atau daerah.
Hal tersebut bukan berarti menghilangkan kepentingan – kepentingan individu,
kelompok, suku bangsa atau daerah. Kepntingan – kepentingan tersebut tetap
dihormati, diakui, dan dipenuhi, selama tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional atau kepentingan masyarakat banyak. Nasionalisme yang tinggi di segala
bidang kehidupan demi tercapainya tujuan nasional tersebut merupakan pancaran
dari makin meningkatnya rasa, paham, dan semangat kebangsaan dalam jiwa bangsa
Indonesia sebagai hasil pemahaman dan penghayatan Wawasan Nusantara.
BAB II.5. PENGERTIAN,
DAN TUJUAN GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI DI INDONESIA.
Pengertian Geopolitik.
Kata geopolitik berasal dari kata geo dan politik. “Geo” berarti bumi dan
“Politik” berasal dari bahasa Yunani politeia, berarti kesatuan masyarakat yang
berdiri sendiri (negara) dan teia yang berarti urusan. Sementara dalam bahasa
Inggris, politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara, danalat
yang digunakan untuk mencapai cita-cita atau tujuan tertentu. Dalam bahasa
Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum warga
negara suatu bangsa. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan,
jalan, cara, dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita
kehendaki.
Pengertian Geopolitik Secara Umum.
Secara umum geopolitik adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia
mengenai diri, lingkungan, yang berwujud Negara kepulauan berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945.
Pentingnya Geopolitik Bagi Indonesia.
Pentingnya geopolitik bagi Indonesia adalah untuk dapat mempertahankan
Negara dan berperan penting dalam pembinaan kerjasama dan penyelesaian konflik
antarnegara yang mungkin muncul dalam proses pencapaian tujuan.
BAB II.6. OTONOMI
DAERAH DAN TUJUANNYA
Pengertian
Otonomi Daerah
Pengertian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain pengertian otonomi daerah sebagaimana disebutkan diatas, kita juga
dapat menelisik pengertian otonomi daerah secara harafiah. Otonomi daerah
berasal dari kata otonomi dan daerah. Dalam bahasa Yunani, otonomi berasal dari kata autos dan namos. Autos
berarti sendiri dan namos berarti aturan atau undang-undang, sehingga dapat
dikatakan sebagai kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna
mengurus rumah tangga sendiri. Sedangkan daerah adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah.
Berdasarkan pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas sesungguhnya
kita telah memiliki gambaran yang cukup mengenai otonomi daerah. Namun perlu
diketahui bahwa selain pengertian otonomi daerah yang disebutkan diatas,
terdapat juga beberapa pengertian otonomi daerah yang diberikan oleh beberapa
ahli atau pakar.
Pengertian
Otonomi Daerah Menurut Para Ahli
Beberapa
pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar, antara lain:
Pengertian Otonomi
Daerah menurut F. Sugeng Istianto, adalah:
“Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah”
Pengertian
Otonomi Daerah menurut Ateng Syarifuddin, adalah:
“Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian
tetapi bukan kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan”
Pengertian
Otonomi Daerah menurut Syarif Saleh, adalah:
“Hak mengatur dan memerintah daerah sendiri dimana hak
tersebut merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat”
Selain pendapat
pakar diatas, ada juga beberapa pendapat lain yang memberikan pengertian yang
berbeda mengenai otonomi daerah, antara lain:
Pengertian
otonomi daerah menurut Benyamin Hoesein, adalah:
“Pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah
nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat”
Pengertian
otonomi daerah menurut Philip Mahwood, adalah:
“Suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan
sendiri dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh
pemerintah guna mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial
mengenai fungsi yang berbeda”
Pengertian
otonomi daerah menurut Mariun, adalah:
“Kebebasan (kewenangan) yang dimiliki oleh pemerintah
daerah yang memungkinkan meeka untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka
mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri.
Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat”
Pengertian otonomi
daerah menurut Vincent Lemius, adalah:
“Kebebasan (kewenangan) untuk mengambil atau membuat
suatu keputusan politik maupun administasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah tedapat kebebasan yang dimiliki
oleh pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah namun
apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan
kepentingan nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”
Tujuan Otonomi
Daerah
Tujuan otonomi daerah kerap menjadi pembicaraan dan bahan diskusi yang
menarik bahkan hingga saat ini setelah konsepsi otonomi daerah itu
diselenggarakan di Indonesia. Mungkin inilah akibat belum tercapainya tujuan
otonomi daerah itu sendiri sesuai dengan gagasan awal pelaksanaannya atau
mungkin lemahnya indikasi akan tercapainya tujuan otonomi daerah dengan melihat
realitas pelaksanaan otonomi daerah dengan berbagai macam ekses yang telah
ditimbulkannya. Hal ini dikarenakan pembicaraan mengenai tujuan otonomi daerah
selalu dibarengi dengan harapan untuk mewujudkannya.
Tujuan Otonomi
Daerah Berdasarkan Undang-Undang
Dalam Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Pasal 2 ayat 3 disebutkan tujuan otonomi daerah sebagai berikut:
Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah, dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Berdasarkan ketentuan tersebut disebutkan adanya 3 (tiga) tujuan otonomi
daerah, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum dan daya
saing daerah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diharapkan dapat dipercepat
perwujudannya melalui peningkatan pelayanan di daerah dan pemberdayaan
masyarakat atau adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan
di daerah. Sementara upaya peningkatan daya saing diharapkan dapat dilaksanakan
dengan memperhatikan keistimewaan atau kekhususan serta potensi daerah dan
keanekaragaman yang dimiliki oleh daerah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Penjelasan
Tujuan Otonomi Daerah Berdasarkan Undang-Undang
Dalam upaya mewujudkan tujuan otonomi daerah, maka konsepsi otonomi daerah
yang dilaksanakan di Indonesia menggunakan prinsip pemberian otonomi
seluas-luasnya kepada daerah. Pinsip otonomi seluas-luasnya dapat dimaknai
sebagai kewenangan yang diberikan melalui peraturan perundang-undangan kepada
daerah untuk membuat kebijakan yang dianggap benar dan adil dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya masing-masing.
Masing-masing daerah dalam menyelenggarakan urusan yang menjadi
kewenangannya berhak untuk membuat kebijakan baik dalam rangka peningkatan
pelayanan maupun dalam rankga peningkatan peran serta masyarakat dalam
pembangunan daerah yang diharapkan bermuara pada cita-cita untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Selain prinsip pemberian otonomi seluas-luasnya kepada masyarakat,
diberlakukan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Yang
dimaksud dengan pemberian prinsip otonomi yang nyata adalah bahwa kewenangan,
tugas dan tanggung jawab pemerintahan daerah dilaksanakan berdasarkan kondisi
obyektif suatu daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah bahwa penyelenggaraan
otonomi daerah oleh pemerintah daerah di masing-masing daerah pada dasarnya
adalah untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah sebagai bagian dari tujuan
nasional.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan otonomi daerah tidak
boleh dilepaskan dari tujuan otonomi daerah yakni mewujudkan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan oleh karena itu, senantiasa harus memperhatikan
apa yang menjadi kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat di daerah masing-masing.
BAB II. 7. KONSEP DAN CIRI MASYARAKAT MADANI.
Pengertian /
Konsep Masyarakat Madani ( Civic Society )
Civic society diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan sebutan
masyarakat sipil atau masyarakat madani. Kata madani berasal dari kata Madinah,
yaitu sebuah kota tempat hijrah Nabi Muhammad SAW. Madinah berasal dari kata
“madaniyah” yang berarti peradaban. Oleh karena itu masyarakat madani berarti
masyarakat yang beradap.
Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society)
yang mandiri dan demokratis, masyarakat madani lahir dari proses penyemaian
demokrasi, hubungan keduanya ibarat ikan dengan air, bab ini membahas tentang
masyarakat madani yang umumnya dikenal dengna istilah masyarakat sipil (civil
society), pengertiannya, ciri-cirinya, sejaraha pemikiran, karakter dan wacana
masyarakat sipil di Barat dan di Indonesia serta unsur-unsur di dalamnya
Ciri-Ciri
Masyarakat Madani
a)
Menjunjung tinggi nilai, norma, dan hukum yang ditopang oleh iman dan
teknologi.
b)
Mempunyai peradaban yang tinggi ( beradab ).
c)
Mengedepankan kesederajatan dan transparasi ( keterbukaan ).
d)
Free public sphere (ruang publik yang bebas). Ruang publik yang diartikan
sebagai wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik, warga negara berhak melakukan kegiatan secara
merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta
mempublikasikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan informasi
kepada publik.
e)
Demokratisasi. Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan
wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekspisit mensyaratkan tumbuhnya
demokrasi., dalam kerangka ini hanya negara demokratis yang mampu menjamin
masyarakat madani. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan pilar-pilar
demokrasi yang meliputi :
1)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
2)
Pers yang bebas
3)
Supremasi hokum
4)
Perguruan Tinggi
5)
Partai politik
f)
Toleransi.
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan
politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang
dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai
dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau
kelompok masyarakat yang lain yang berbeda.
g)
Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap
tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan
merupakan rahmat tuhan.
h)
Keadilan Sosial (Social justice)
Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional
antara hak dan kewajiban setiap warga dan negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan.
i)
Partisipasi sosial
Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal
yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih
dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memunkinkan otonomi individu terjaga.
j)
Supermasi hukum
Penghargaan terhadap supermasi hukum merupakan jaminan terciptanya
keadilan, keadilan harus diposisikan secara netral, artinya tidak ada
pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hukum.
Prof. Dr. M.
A.S. Hikan menjelaskan ciri-ciri pokok masyarakat madani di Indonesia antara lain :
a)
Kesukarelaan
b)
Keswasembadaan
c)
Kemandirian yang tinggi terhadap negara.
d)
Keterkaitan pada nilai-nilai hukum yang disepakati bersama.
e)
Keswadayaan
BAB III
Kesimpulan
Dalam
kehidupan sebagai warga negara di Indonesia, kita tidak lepas dari sejarah
serta hal-hal yang mengatur kehidupan kita seperti Undang-Undang serta sistem
pemerintahan di Indonesia. Konstitusi dan UUD 1945 sebagai dasar hukum yang
berlaku di Indonesia, Pancasila sebagai Paradigma dalam seluruh aspek
kewarganegaraan, dan juga Geopolitik sebagai pertahanan bagi keutuhan negara.
Selain
itu, dalam kehidupan kewarganegaraan di Indonesia, kita harus mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan di Indonesia serta
perbedaan sebelum dan sesudah Amandemen.
Ciri
Masyarakat Madani di Indonesia berperan penting dalam keharmonisan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tidak seperti bangsa-bangsa lain yang kurang peduli
terhadap sesama, kehidupan berwarganegara di Indonesia memiliki nilai-nilai
positif yang menjadi ciri khas tersendiri.
Saran
Dalam
praktiknya, saat ini kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, banyak
warga negara yang kurang dapat menerapkan hal-hal yang saya bahas dalam makalah
ini, sering kali Konstitusi dan UUD 1945 hanya dijadikan tameng dan senjata
sebagai kekuatan Politik bagi salah satu golongan saja dan mengesampingkan
kepentingan bangsa dan negara. Peran Pancasila sebagai paradigma seringkali
terabaikan.
Saran
dari penulis adalah, sebaiknya pengetahuan-pengetahuan kewarganegaraan seperti
ini harus lebih banyak dimuat atau disampaikan kepada seluruh aspek masyarakat
dalam pembahasan yang menarik baik melalui media cetak, media elektronik maupun
media sosial sehingga kehidupan berwarganegara di Indonesia dapat tertata dan
berlangsung secara harmonis. Rasa nasionalisme akan tumbuh pada seluruh aspek
masyarakat hanya jika masyarakat itu sendiri mengetahui dan menyadari
pentingnya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, bukan hanya penting bagi
mereka yang masih mengenyam pendidikan formal, namun penting bagi seluruh aspek
lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
DAFTAR PUSTAKA
Soehino. 1984. Hukum Tata Negara Teknik
Perundang-Undangan. Yogyakarta : Liberty.
Budiyanto. 2005. Kewarganegaraan.
Jakarta : Erlangga.
http://www.pustakasekolah.com/pengertian-konstitusi.html
Siswanto, Sugeng. 2013. Makalah
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan.
http://www.mysusis.com/2013/07/makalah-pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan.html
(diakses 18 Desember 2014)
Denny Indrayana, 2007,
Amandemen UUD 1945, Antara Mitos dan Pembongkaran, cetakan kedua, Mizan,
Bandung.
Miriam Budiardjo, 2006,
Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan keduapuluh delapan, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Prof. DR. H. Kaelan, M.S. dan
Drs. H. Ahmad Zubaidi, M. Si. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan utuk Perguruan
Tinggi. Yogyakarta : Penerbit Paradigma Yogyakarta.
Ermanaya, Suradinata. 2001.
Geopolitik dan Geostrategi Dalam Mewujudkan Integritas Negara Kesatuan
Indonesia. Jakarta: Lemhanas.
Kaelan. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek
Otonomi Daerah di Indonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada.
Suito, Deny. 2006. Membangun
Masyarakat Madani. Centre For Moderate Muslim Indonesia: Jakarta.
CATATAN:
Dibuat Halaman Sampul Depan Lengkap Dgn
Nama Institusi, Nama, Nim, Dosen, Dan Mata Kuliah